Kamis, 08 April 2010

Asteroid Terbesar Kedua di Bimasakti Berkembang Jadi Planet


JAKARTA, KOMPAS.com - Asteroid terbesar di dalam Sistem Bimasakti sebenarnya adalah purwarupa planet, yaitu satu blok yang sedang berkembang menjadi planet sesungguhnya yang lebih besar, demikian hasil satu studi.

Beberapa peneliti di University of California, Los Angeles (UCLA), membuat kesimpulan tersebut setelah menggunakan teleskop Antariksa Hubble untuk mempelajari Pallas, asteroid terbesar kedua di dalam Sistem Bimasakti, kata studi tersebut, yang disiarkan di dalam jurnal Science, terbitan Oktober.

Pallas, yang namanya diambil dari nama Dewi Yunani, Pallas Athena, berada di sabuk utama asteroid antara orbit Jupiter dan Mars.

Menurut teori pembentukan planet, purwarupa planet adalah awan partikel gas, batu, dan debu yang berada dalam proses pembentukan satu planet. Purwarupa planet agak berada di jalur masing-masing orbit lain, sehingga terjadi benturan dan secara berangsur membentuk planet yang sesungguhnya.

"Sangat menggairahkan untuk menyaksikan satu obyek perspektif baru ini yang sangat menarik dan belum diamati oleh Hubble dengan resolusi tinggi," kata mahasiswi tingkat doktor UCLA, Britney E Schmidt, penulis utama studi itu.

"Kami memperkirakan, asteroid yang sangat besar ini bukan hanya sebagai blok planet yang sedang terbentuk, tapi sebagai peluang untuk meneliti pembentukan planet beku pada waktunya," kata Schmidt.

"Memiliki kesempatan menggunakan Hubble, dan melihat citra itu kembali dan memahami secara otomatis ini dapat mengubah apa yang kami pikirkan mengenai obyek ini," kata Schmidt sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi China, Xinhua.

Dengan gambar Hubble, Schmidt mengatakan dia dan rekannya dapat membuat pengukuran baru mengenai bentuk dan ukuran Pallas. Mereka dapat melihat permukaannya memiliki daerah gelap dan cerah, yang menunjukkan benda yang kaya akan air tersebut mungkin telah mengalami perubahan internal dengan cara yang sama yang dilalui planet.

"Itulah yang membuatnya lebih mirip planet --variasi warna dan bentuk bulat sangat penting sepanjang yang kami pahami, adalah obyek dinamis atau benda itu telah memiliki ukuran yang persis sama sejak terbentuk," kata Schmidt. "Kami kira barangkali itu adalah obyek yang dinamis."

Untuk pertama kali, Schmidt mengatakan, dia dan rekannya juga melihat tempat tabrakan besar di Pallas. Mereka tak dapat memastikan apakah itu adalah kawah, tapi depresinya memang menunjukkan sesuatu yang penting lain: bahwa itu dapat membawa kepada keluarga kecil asteroid Pallas yang mengorbit di antariksa.
Read More

"Matahari Tenang" Menyebabkan Cuaca Ekstrem

JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca ekstrem di lintang utara, antara lain, Eropa dan Amerika bagian utara yang terjadi beberapa hari terakhir ini terkait dengan kondisi ”Matahari tenang” yang berkepanjangan. Selain itu, disebabkan oleh perubahan iklim global.

Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (23/12/2009) di Jakarta.

Thomas mencatat beberapa musim dingin yang minim salju terkait dengan kondisi Matahari aktif dan sebaliknya musim dingin bersuhu ekstrem di Bumi terkait dengan Matahari tenang, yaitu sedikit hingga tanpa adanya bintik Matahari.

Menurut pemantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan, penurunan kejadian bintik Matahari mulai terlihat sejak 2000.

Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak-tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terbentuk dari aktivitas massa magnet yang terpelintir atau berpusar di perut Matahari hingga menembus permukaan.

Bintik hitam Matahari itu berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi. Akibat munculnya bintik Matahari, suhu gas di fotosfer dan kromosfer di atasnya dapat naik sekitar 800 derajat celsius dari normal. Hal itu mengakibatkan gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan gas di sekelilingnya.

Di atas bintik Matahari, yaitu di daerah kromosfer dan korona juga dapat terjadi badai Matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.

Cuaca Bumi

Lonjakan massa gas bersuhu tinggi ini tidak hanya memengaruhi magnet Bumi, tetapi juga cuaca di atmosfer Bumi, lanjut Thomas, pakar astronomi dan astrofisik. Kondisi Matahari juga berefek pada intensitas curah hujan di Indonesia.

Data Lapan menunjukkan ada kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Secara global, efek aktivitas Matahari mengemisikan gas rumah kaca, terutama CO. Akibatnya, iklim ekstrem dapat lebih sering terjadi dengan intensitas yang cenderung menguat. (YUN)
Read More

Ditemukan Planet Serupa Bumi yang Memiliki Air

PARIS, KOMPAS.com — Para astronom telah menemukan sebuah planet serupa Bumi yang mayoritas permukaannya tertutup air. Planet itu berukuran lebih besar dengan radius 2,7 kali radius Bumi. Demikian diungkapkan dalam penelitian yang dipublikasikan dalam journal ilmiah Nature, Rabu (16/12/2009).

Planet yang kemudian disebut "Bumi Super" itu berada sejauh 42 tahun cahaya di sistem tata surya lain. Adapun satu tahun cahaya adalah jarak yang bisa ditempuh cahaya dalam setahun atau sekitar 9.460.730.472.580.800 kilometer.

Penemuan planet GJ 1214b itu merupakan langkah maju dalam usaha pencarian planet lain yang mirip Bumi. Demikian dikatakan Geoffrey Marcy, peneliti dari Universitas California. Meski begitu, menurut penelitian di Pusat Astrofisika Harvard-Smithsonian, planet yang baru ditemukan itu terlalu panas untuk bisa mendukung kehidupan.

"Kepadatannya menunjukkan bahwa, meski tiga perempat bagiannya ditutupi air dan seperempatnya batuan, ada petunjuk bahwa planet itu memiliki atmosfer penuh gas," demikian dituliskan di laporan Nature. Suhu di sana diperkirakan antara 120 dan 280 derajat celsius, walau bintang di pusatnya memilki ukuran sekitar seperlima Matahari kita. Planet "Bumi Super" itu mengelilingi bintangnya yang kecil dan redup tiap 38 jam.

Bila disejajarkan dengan planet luar atau exoplanet lain yang juga mirip Bumi, planet ini berukuran lebih kecil, lebih dingin, dan paling mirip dengan Bumi. Exoplanet adalah planet yang berada di luar sistem tata surya kita.

Mengenai keberadaan air di sana, disebutkan bahwa air itu kemungkinan berbentuk kristal yang terjadi akibat tekanan 20.000 kali lebih besar dibanding tekanan di atas permukaan laut Bumi.

Dibanding planet temuan lain, misalnya CoRoT-7b yang mengelilingi sebuah bintang amat panas, planet baru ini relatif jauh lebih dingin. CoRoT-7b memiliki kepadatan mendekati Bumi (5,5 gram per sentimeter kubik) dan sepertinya berbatu, sementara GJ 1214b sepertinya hanya memiliki kepadatan 1,9 per sentimeter kubik. Menurut peneliti, mengingat kepadatan planet yang sedemikian rendah, pasti ada air dalam jumlah besar di sana.
Read More

Inilah Warna Burung Berusia 155 Juta Tahun Itu

BEIJING, KOMPAS.com — Untuk pertama kalinya, para ilmuwan berhasil memecahkan misteri warna tubuh binatang purba yang sudah menjadi fosil.



Para ilmuwan yang berasal dari Museum Sejarah Arkeologi Beijing ini berhasil memecahkan secara lengkap kode misteri warna tubuh burung purba yang dikenal dengan Archiornis huxleyi.

Archiornis huxleyi yang hidup kira-kira 155 juta tahun lalu ini termasuk jenis dinosaurus purba, hewan sejenis burung buas dan berkaki kecil.

Untuk memecahkan misteri warna burung purba ini, para ilmuwan Beijing bekerja sama dengan ilmuwan ahli dinosaurus, ilmuwan ahli burung modern, dan ilmuwan ahli burung kuno yang berasal dari Peking University, Yale University, University of Texas, dan University of Akron.
Read More

Galaksi Bima Sakti Lebih Ringan

JAKARTA, KAMIS - Massa Galaksi Bima Sakti diprediksi sekitar 1 triliun kali massa Matahari. Namun, hasil perhitungan terbaru ini lebih kecil dari prediksi sebelumnya. Perkiraan sebelumnya menyatakan bahwa massa galaksi yang menjadi rumah tata surya itu diperkirakan mencapai 2 triliun kali massa Matahari meski dengan estimasi minimum 750 juta kali. Namun, dengan data-data lebih banyak saat ini, para pakar astrofisika dapat memprediksi massanya dengan lebih akurat.

Perkiraan ini diperoleh berdasarkan hasil perkiraan massa kumpulan bintang-bintang yang teramati di bagian halo galaksi tersebut. Halo di sini merupakan bagian galaksi yang berada di cakram utama. Dengan mengukur kecepatan edar bintang-bintang tersebut, besar gaya gravitasi yang diperlukan galaksi untuk menjaganya di orbit dapat diketahui. Massa galaksi juga dapat diketahui dari hasil turunan persamaan dalam perhitungan ini. "Galaksi ini ternyata lebih ringan dari perkiraan kita," ujar Xiangxiang Xue dari Observatorium Astronomi Nasional China, ketua tim peneliti. Namun, hal tersebut juga menunjukkan bahwa kandungan materi hitam tidak sebesar perkiraan.

Massa galaksi merupakan campuran antara bintang-bintang, debu kosmis, gas, dan materi hitam yang masih misterius wujudnya. Dengan kandungan materi hitam yang tidak banyak, ini berarti konversi energi galaksi menjadi helium dan hidrogen, yang merupakan bahan bakar bintang, lebih efisien. "Total massa galaksi sulit dihitung karena kita berada di dalamnya. Namun, hal tersebut harus diketahui jika kita ingin memahami bagaimana Galaksi Bima Sakti terbentuk atau membandingkannya dengan galaksi asing yang terlihat utuh dari Bumi," ujar Timothy Beers, peneliti lainnya dari Michigan State University, AS.

Prediksi sebelumnya hanya menggunakan data 500 bintang. Sementara prediksi terakhir telah menggunakan data lebih dari 2.400 bintang. Semakin besar data yang dipakai, semakin tinggi tingkat akurasinya. Hasil penelitian terbaru ini akan dipublikasikan dalam Astrophysical Journal.
Read More

Rabu, 07 April 2010