Selasa, 06 Oktober 2020

Janji Suci Pt 3

Tepat satu tahun, sebuah kenangan pahit yang akan terus tertancap di memoriku. Baru saat ini hatiku bersedia untuk mengenang sekaligus menuangkan segala emosi yang terjadi saat itu. Memang aku menunggu kelapangan hati untuk merangkai perasaan-perasaan yang bergejolak pada saat itu ke dalam goresan tinta hitam ini.

Yogyakarta, 5 Oktober 2019

Setelah hampir satu bulan tak kunjung mendapatkan jawaban darimu, aku memberanikan diri untuk menagih jawaban itu. Namun kau bilang bahwa ayahmu yang akan menjawabnya ketika ke Jakarta suatu hari nanti. Nanti sampai kapan? Aku tak mau menunggu terlalu lama kepahitan-kepahitan ini. Akhirnya, pada hari itu aku bertekad pergi ke Yogyakarta untuk menjemput jawaban atas pertanyaanku satu bulan sebelumnya. 

Stasiun Yogyakarta, sudah tak asing lagi di mataku. Sudah berapa kali aku menginjakkan kaki disana, hiruk pikuk orang mengais rezeki berjejer di depan stasiun itu.  Hari itu entah matahari bersinar sangat terik sekali, padahal jam menunjukkan sekitar pukul 15.00 WIB. Aku berjalan menyusuri trotoar depan stasiun sembari menuju tempat yang telah disepakati antara aku dan ojek online. Tak lama kemudian, aku mendapatkan ojek online tersebut. Ku pakai helm yang disodorkan oleh mas ojol dan motor berjalan menuju tempat transitku seperti biasanya, Masjid Kampus UGM yang selalu aku hampiri untuk sekedar membersihkan badan, sholat dan menghilangkan rasa jetlag setelah kurang lebih 9 jam perjalanan kereta. Tak lupa ku berdoa agar selalu diberikan yang terbaik kedepannya. Setelah kurasa cukup, akhirnya gejolak emosi segera dimulai.

Sore itu aku menuju ke sebuah rumah berwarna putih dengan pagar hitam. Rumah itu tak asing lagi bagiku, sebulan yang lalu aku pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Namun saat ini dengan kondisi yang berbeda. Aku merasa kali ini semesta tak mendukungku, berawal dari hilangnya sepatuku di Stasiun Pasar Senen shubuh tadi. Ku ketuk pagar besi sembari memberi salam. Tak lama setelah itu, seorang perempuan datang dan membuka pagar hitam itu. Aku dipersilahkan masuk ke rumah itu. Aku tak berharap cukup tinggi akan hasil hari ini. Tiba-tiba, perempuan itu segera memberiku makanan spagetti dengan secangkir teh hangat sebagai pelengkap. Segera ku habiskan makanan yang ada diatas tanganku ini, karena ini bukanlah tujuan untuk datang kesini. Entah suasana di ruangan itu sunyi, dan sedikit gerah bagiku. Setelah makanan selesai, akhirnya seorang pria paruh baya datang duduk di depanku. Otakku segera terbang kesana kemari untuk mencari kepingan-kepingan topik hangat untuk dibicarakan. Entah otakku yang biasa lambat tiba-tiba kali ini dia terbang dengan hebatnya untuk mencari topik-topik itu. 

Tak terasa setengah jam aku berbincang-bincang kesana kemari. Langit di luar bersiap untuk berganti dengan malam. Aku berusaha menenangkan hati yang dari tadi gelisah dengan apa yang akan terjadi. Akhirnya, lidahku memulai apa yang ingin diutarakan oleh otakku. Sebuah kalimat yang akan mengungkap segala penasaranku akan pertanyaanku satu bulan yang lalu. Dan jawaban-jawaban itu, mengalir sangat lembut namun sedikit demi sedikit menyayat dengan halus dinding-dinding hatiku. Kata-kata yang terbang keluar, menghantam dan meremukkan hatiku. Mulai saat itu, hatiku hancur berkeping-keping. Walaupun aku sudah merasa ketika memulai perjalananku pagi ini. Aku tahu semesta benar-benar menolak untuk membantuku, bahkan dia berusaha menghalangiku. Sepatu favoritku hilang hingga disambut terik matahari ketika keluar stasiun. Seketika harapan-harapan yang telah kubangun bertahun-tahun lamanya padam. 

Ketika hati ini menangis, tiba-tiba panggilan adzan memanggil dan menenangkan hatiku untuk sejenak. Kemudian aku diajak oleh pria paruh baya itu untuk sholat berjamaah. Menjadi makmum untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu, aku pamit dengan membawa kepingan hati dan harapan yang padam. Akhirnya aku meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Terima kasih Yogya untuk pengalaman pahitnya. Tujuh tahun kekagumanku akan kota Yogya akhirnya sirna pada malam ini. Sejak saat ini, tugasku untuk selalu mendoakanmu telah usai karena kini tak ada harapan lain yang dapat kusemogakan.

Selesai.


Depok, 6 Oktober 2020

Setahun telah berlalu, banyak pengalaman dan pembelajaran yang dapat aku petik. Berangsur-angsur, hati ini berusaha untuk pulih. Memilih Terpaksa berdamai daripada pergi menjauh. Beberapa hari lagi, kau akan mengikat janji untuk selamanya dengannya. Semoga kau bahagia. Maaf jika selama ini aku menjadi dingin dan menjauh, hal itu ku lakukan karena ada hal yang harus disembuhkan seperti dahulu kala sebelum kita bertemu. Akhirnya aku sadar bahwa jangan terlalu berharap kepada manusia, karena ketika hal tersebut terjadi tak sesuai harapan, hanya sakit yang akan didapat. Mungkin sekarang saatnya untuk aku belajar mencintai ketidaksempurnaan, karena tidak selamanya sempurna akan menghampiri kita. Jaga hati kita untuk orang-orang yang pasti menghargai kita. Hargailah dirimu atas segala usaha yang sudah kamu perjuangkan.|| Manjakanlah dirimu sesekali, biarkan tubuhmu beristirahat dari segala kerja keras yang sudah kamu paksakan. ~LN



21.18 @KhafidzHidayat

Read More