Di
tengah hiruk pikuk malam minggu di tretes, kami memulai perjalanan menuju
hutan, jalanan yang terbuat dari paving masih cukup nyaman bagi kami untuk
berjalan. Jalanan sangat gelap, hanya cahaya mungil yang keluar dari
senter-senter kami. Jalan mulai menanjak dan kedinginan malam mulai menyentuh
kulit. Suasana berubah menjadi hening, hanya suara burung-burung malam yang
masih bernyanyi bersahutan. Tak terasa
kami sudah berada di atas Tretes yang hanya terlihat berbagai nyala lampu dari
daerah itu. Begitu menakjubkan pemandangan malam yang langka seperti ini.
Perjalanan
tetap kami lanjutkan, dan tak lama kemudian terdengar suara gemericik air.
Ternyata kami telah sampai di pos pertama yaitu
pos Pet Bocor. Di pos ini, banyak pendaki yang mengisi perbekalan air
dari sebuah kran yang bocor. Ada pula pendaki yang bersantai ria sambil meminum
kopi di dalam warung. Ya disini masih ada warga yang membuka warung. Sedangkan
kami pun beristirahat sejenak dan mengisi botol kosong kami dengan air. Setelah
5 menitan kami berjalan kembali menuju ke pos selanjutnya.
Pukul
menunjukkan pukul 21.50, hanya suara gesekan alas kaki kami bertujuh yang
terdengar. Jalanan kini berubah menjadi bebatuan yang menanjak. Udara pun juga
mulai menipis terkikis oleh dinginnya malam. Karena pada rombongan kami
terdapat satu perempuan, entah aku lupa namanya. Maka kami setiap beberapa
menit berhenti sejenak. Aku, Angga, dan Purwo tidak begitu sabar dengan keadaan
ini, malah membuat kami cepat lelah. Namun karena pengalaman pertama kami tidak
berani berjalan sendiri di tengah kegelapan hutan.
Jalan
terus menanjak, dan lagi-lagi hanya bebatuan yang kami temui sepanjang jalan
dan sedikit debu yang melayang-layang di udara. Dan lagi-lagi mbak gak tau
namanya meminta beristirahat lagi. Beruntung sekali kami menemukan tempat yang
cukup lapang untuk kami tempati. Di tempat itu, keindahan Tretes dan Pandaan
terlihat jelas. Lampu-lampu kota yang berjejer secara rapi dan lampu-lampu
mobil yang sedang berjalan, semuanya begitu indah. Ditambah bintang-bintang
yang bertaburan di atas langit yang cerah ditemani bulan yang begitu bersinar.
Tak
terasa kami telah beristirahat cukup lama, namun mbak itu masih tidak ingin
melanutkan perjalanan dan menyuruh aku, Angga, dan Purwo untuk melanjutkan
perjalanan. Dengan tekad yang kuat akhirnya kami melanjutkan perjalanan yang
tak tau dimana ujungnya. Kami berjalan begitu cepat dan semangat. Tiba-tiba
terdengar lonceng sapi layaknya berjalan di depan kami. Kami pun penasaran dan
terus berjalan cepat. Ternyata ada kelompok pendaki yang juga akan menuju ke
pos kokopan.
Karena
semangat yang tinggi dari kami, kamipun mengabaikan kelompok pendaki tadi yang
berasal dari Surabaya. Lagi-lagi kami berjalan sendiri ditengah bebatuan yang
menanjak dan dibatasi rumput-rumput ilalang yang tinggi. Hari semakin malam,
persediaan air mulai menipis, tapi kami masih belum sampai di pos kokopan.
Nafas kami mulai tersengal-sengal tak karuan. Dengan semangat yang tersisa kami
terus melanjutkan perjalanan ke atas. Suara riuh orang-orang mulai terdengar
kembali dan tak lama kemudian terlihat banyak tenda yang telah berdiri. Kami
akhirnya lega telah sampai di pos kokopan.
Pukul
23.30 kami sampai di pos kokopan, udara dingin mulai menggentayangi tubuh kami.
Dan kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri
kami ngopi sejenak menggunakan bekal kopi yang dibawa purwo untuk menghangatkan
tubuh. Kemudian aku mencoba mencari air untuk berwudhu. Setelah mendapat sumber
yang cukup deras, aku memberanikan diri untuk berwudhu. Dan akupun berperang
melawan dinginnya air dan udara demi ingin mendekatkan diri padaNya. Begitupun
dengan ketiga temanku. Kami beribadah bergantian di dalam tenda mungil kami.
Setelah semuanya selesai akupun membungkus tubuh ini dengan pakaian hangat dan
memulai petualangan ke pulau mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar