Jumat, 12 Desember 1969, hari masih pagi di Stasiun Gambir, Jakarta.
Keceriaan melingkupi Tim Mapala Fakultas Sastra Universitas Indonesia
yang bersiap bergerak ke Surabaya. Ada Soe Hok Gie, Herman O Lantang,
Abdurachman, dan Anton Wijana. Ikut bergabung juga redaktur koran Sinar
Harapan Aristides Katopo. Selain itu deretan para 'junior' Rudi Badil,
Idhan Dhanvantari Lubis dan Freddy Lodewijk Lasut.
Mereka
berdelapan menaiki gerbong barang. Bertujuan mendaki Gunung Semeru di
Jawa Timur. Sebuah ekspedisi besar untuk Mapala FS-UI ketika itu.
Dalam
buku Soe Hok Gie yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Rudi
badil menceritakan perjalanan tersebut. Jangan bayangkan pecinta alam
pada masa itu seperti sekarang. Dengan carrier canggih yang bisa disetel
sesuai rangka tubuh, GPS, tenda dome empat musim atau kompor trangia
berbahan bakar spirtus yang antiangin.
Saat itu ransel para
pendaki gunung masih menggunakan milik ABRI. Herman Lantang menggunakan
peta peninggalan zaman Belanda. Badil menyebut kompor minyak tanah
mereka seperti kompor milik penjual tahu goreng.
Semeru tahun
1969 tentu sangat indah. Badil menceritakan Danau Ranu Kumbolo masih
dipenuhi burung Belibis Liar. Dia pun sempat melihat seekor macan tutul
yang muncul di remang cahaya pagi. Kini tak ada satu ekor pun Belibis di
Ranu Kumbolo. Cerita soal macan masih ada, tapi tak ada seorang pun
pendaki yang pernah melihat sosoknya.
Perjalanan indah Gie cs
akhirnya berujung duka. Petaka itu terjadi 16 Desember 1969, setelah
summit atack, Gie dan Idhan Lubis terkena gas beracun. Mereka kejang
sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Persis satu hari sebelum
hari ulang tahun Gie ke-27.
Butuh delapan hari untuk mengevakuasi jenazah keduanya dari Puncak Semeru. Kematian dua pendaki itu menjadi duka nasional.
Gie meninggal di puncak Semeru, tetapi semangatnya selalu menjadi inspirasi para pendaki untuk mengunjungi Semeru.
"Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan, seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objek-objeknya,
mencintai tanah air Indonesia dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dengan dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat karena itulah kami naik
gunung," kata Soe Hok Gie.
40 tahun setelah Soe Hok Gie dan
Idhan Lubis meninggal dunia, lahirlah 'icon baru' Semeru. Kali ini bukan
kisah nyata, tapi novel yang kemudian dijadikan film. Donny Dhirgantoro
secara apik menceritakan kisah lima sahabat yang melakukan reuni di
Gunung Semeru.
Maka tahun 2013, Semeru adalah 5 cm. Dengan sosok
Genta yang berwibawa, Riani yang pintar, Arial yang sporty, Zafran yang
puitis dan Ian yang kocak. Hadir pula Dinda, adik Arial yang cantik dan
polos.
Film 5 cm meledak.
Kini Semeru bukan hanya milik
pendaki gunung. Anak-anak SMA dengan sepatu basket pun bermimpi mendaki
puncaknya. Mahasiswi dengan setelan yang lebih cocok ke mall
terengah-engah menapaki Arcopodo. Kini Ranu Kumbolo sesak oleh mereka
yang ingin merasakan momen saat Genta menyatakan cinta pada Riani.
Merasakan apa yang dirasakan 5 sahabat itu saat mendaki Semeru.
Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu.
Dan
sehabis itu yang kamu perlu
Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,
tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya,
mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
lapisan tekad yg seribu kali lebih keras dari baja
Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
Serta mulut yang akan selalu berdoa
[ian]
Source : Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar