Senin, 13 Mei 2013

Semeru, antara Soe Hok Gie dan 5 cm

Jumat, 12 Desember 1969, hari masih pagi di Stasiun Gambir, Jakarta. Keceriaan melingkupi Tim Mapala Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang bersiap bergerak ke Surabaya. Ada Soe Hok Gie, Herman O Lantang, Abdurachman, dan Anton Wijana. Ikut bergabung juga redaktur koran Sinar Harapan Aristides Katopo. Selain itu deretan para 'junior' Rudi Badil, Idhan Dhanvantari Lubis dan Freddy Lodewijk Lasut.

Mereka berdelapan menaiki gerbong barang. Bertujuan mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur. Sebuah ekspedisi besar untuk Mapala FS-UI ketika itu.

Dalam buku Soe Hok Gie yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Rudi badil menceritakan perjalanan tersebut. Jangan bayangkan pecinta alam pada masa itu seperti sekarang. Dengan carrier canggih yang bisa disetel sesuai rangka tubuh, GPS, tenda dome empat musim atau kompor trangia berbahan bakar spirtus yang antiangin.

Saat itu ransel para pendaki gunung masih menggunakan milik ABRI. Herman Lantang menggunakan peta peninggalan zaman Belanda. Badil menyebut kompor minyak tanah mereka seperti kompor milik penjual tahu goreng.

Semeru tahun 1969 tentu sangat indah. Badil menceritakan Danau Ranu Kumbolo masih dipenuhi burung Belibis Liar. Dia pun sempat melihat seekor macan tutul yang muncul di remang cahaya pagi. Kini tak ada satu ekor pun Belibis di Ranu Kumbolo. Cerita soal macan masih ada, tapi tak ada seorang pun pendaki yang pernah melihat sosoknya.

Perjalanan indah Gie cs akhirnya berujung duka. Petaka itu terjadi 16 Desember 1969, setelah summit atack, Gie dan Idhan Lubis terkena gas beracun. Mereka kejang sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Persis satu hari sebelum hari ulang tahun Gie ke-27.

Butuh delapan hari untuk mengevakuasi jenazah keduanya dari Puncak Semeru. Kematian dua pendaki itu menjadi duka nasional.

Gie meninggal di puncak Semeru, tetapi semangatnya selalu menjadi inspirasi para pendaki untuk mengunjungi Semeru.

"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan, seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objek-objeknya, mencintai tanah air Indonesia dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dengan dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat karena itulah kami naik gunung," kata Soe Hok Gie.

40 tahun setelah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis meninggal dunia, lahirlah 'icon baru' Semeru. Kali ini bukan kisah nyata, tapi novel yang kemudian dijadikan film. Donny Dhirgantoro secara apik menceritakan kisah lima sahabat yang melakukan reuni di Gunung Semeru.

Maka tahun 2013, Semeru adalah 5 cm. Dengan sosok Genta yang berwibawa, Riani yang pintar, Arial yang sporty, Zafran yang puitis dan Ian yang kocak. Hadir pula Dinda, adik Arial yang cantik dan polos.

Film 5 cm meledak.

Kini Semeru bukan hanya milik pendaki gunung. Anak-anak SMA dengan sepatu basket pun bermimpi mendaki puncaknya. Mahasiswi dengan setelan yang lebih cocok ke mall terengah-engah menapaki Arcopodo. Kini Ranu Kumbolo sesak oleh mereka yang ingin merasakan momen saat Genta menyatakan cinta pada Riani. Merasakan apa yang dirasakan 5 sahabat itu saat mendaki Semeru.

Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu.
Dan
sehabis itu yang kamu perlu
Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,
tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya,
mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
lapisan tekad yg seribu kali lebih keras dari baja
Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
Serta mulut yang akan selalu berdoa
[ian]
Source : Merdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar