Minggu, 08 April 2012

Tragedi Di Siang Hari

Siang itu, aku pulang dengan perasaan gundah. Terdengarlah suara gelisah dari dalam tubuhku. Sebuah tantangan bagiku bila kusanggup melewatinya. Walaupun kurasa ini menyakitkan, namun semua ini kujadikan pengorbanan dan kenangan pahit terakhirku bersamanya dalam satu ruangan.

Sebuah ruangan yang sangat asing bagiku. Aku tak dapat berpikir jernih. Suasana yang membuat hati gundah. Dan membuat jiwa resah. Perasaanku mulai dirindung gelisah. Akupun diam tanpa kata, menatap indahnya langit-langit rumah. Kulihat orang-orang yang sedang berpesta. Sedangkan aku hanya terduduk lesu, menyesali semua yang telah terjadi.

Di depan mataku, terdapat sebongkah kejutan darinya untuk dia. Aku hanya bisa tersenyum untuk merayakan semua ini. Namun, hatiku sendiri menangis tak berdaya. Dan senyumanku tak tega melihat hatiku menangis. Tetapi, senyumanku hanya menyembunyikan tangis hatiku karena mereka berdua adalah makhluk yang saling berkaitan.

Waktupun tiba, aku menerima sepotong kejutan itu dari teman lamaku, aku makan semua dengan perlahan. Tetapi, tanganku tak kuasa memasukkannya ke dalam kerongkongan. Semakin aku paksa untuk masuk semakin bergetarlah tanganku ini. Memang, aku memaksakan diri untuk datang dalam tragedi ini. Aku hanya sekedar memenuhi permintaannya melalui sahabat baruku. Kujadikan ini menjadi pengorbanan terakhir untuknya.

Dalam kerumunan manusia yang berpesta, tubuhku semakin tak berdaya di hadapan mereka semua. Namun ku tetap mentegarkan seluruh tubuhku ini. Meyakinkan pada tubuhku ini bahwa selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Tragedi yang mengenaskan bagiku. Kemudian semua terdiam, tak terkecuali aku. Aku menundukkan kepala karena malu, malu karena aku telah berusaha mengambil barang yang sebenarnya bukan milikku.

Waktu telah berjalan jauh, akupun memutuskan tuk pergi dari tempat asing tersebut. Aku ucapkan selamat dan menyalami dia. Di ujung gerbang rumah dia, ada suara indah di belakang tubuhku. Dirinya meminta maaf padaku dan mulutku memaafkannya. Namun, hatiku telah gugur dan hancur berkeping-keping. Begitu kejamnya kau pada hatiku. Apakah sebelumnya kau mendengar rintihan hatiku? Mungkin tidak!

Kini ku pergi jauh darinya, dengan mengikuti setapak jalan ini. Ku tak mau menengok pada masa lalu, karena semua itu hanya akan menambah kesengsaraanku. Dan kini, ku enggan berlari melawan waktu. Ku hanya ingin duduk di tepi taman menatap beningnya wajah air danau yang mengalir berhiaskan indahnya pegunungan bumi ini.

0 komentar:

Posting Komentar